bo Desember 2016

Jumat, 09 Desember 2016

Kyai Romli : Kiai Keramat Pencetus Istighotsah NU

Tidak ada komentar:

KH. Muhammad Romli Tamim

 KH. Romly Tamim adalah salah satu perintis Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, beliau dilahirkan di Rejoso pada tahun 1888 M, beliau adalah putra ketiga kyai haji Tamim Irsyad. Pengalaman belajarnya diperoleh dari ayah dan kakak iparnya pada waktu usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di pondok pesantren Bangkalan Madura seperti kakak dan ayah beliau, yaitu dibawah asuhahan KH. Cholil. Dari pendidikan ini kemudian diteruskan di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang yang di asuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kyai Tamim sudah membantu kyai Hasyim Asy’ari sebagai tenaga pengajar, kyai Hasyim Asy'ari mulai menaruh simpati dan menyayangi tenaga baru tersebut. Berawal dari sinilah simpati itu berlanjut dan akhirnya pada tahun 1023 KH. Romlye Tamim diambil menantu oleh KH. Hasyim Asy’ari.dalam pernikahan ini tidak menghasilkan satu anakpun.


Para santri Pondok Njoso (PP.Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang), biasa menyebutnya dengan sebutan agung, Mbah Yai Romli. Mbah Yai Romli adalah pengasuh Pondok Njoso generasi kedua, sepeninggal ayah beliau, KH.Tamim Irsyad. Mbah Yai Romli adalah putra ke 3 dari 4 bersaudara. Kakak beliau, Gus M. Fadil, meninggal sejak belia. Kakak kedua beliau adalah Nyai Siti Fatimah, istri dari KH.Cholil Juremi (Mursyid Pertama), yang kelak menjadi guru tasawwuf beliau. Adik beliau, KH.Umar Tamim, adalah ayah dari KH.As’ad Umar, Pengasuh Pondok Njoso, speninggal Dr. KH. Musta’in Romli.

Banyak kisah tentang Mbah Yai Romli, karena beliaulah Kyai yang namanya masih terus hidup di hati para santri Pondok Njoso dan murid Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyah hingga kini. Di kalangan santri Pondok Njoso, Istighotsah gubahan beliau merupakan amalan wajib setiap bakda jama’ah shubuh di seluruh asrama Pondok Njoso yang memiliki sekitar 7000 santri itu. Selain itu, nama Mbah Yai Romli merupakan sebuah “kontrol sosial” bagi para santri di Pondok Njoso. Bagaimana tidak, setiap segala sesuatu yang dilkakukan oleh santri, lazimnya nasehat maupun kalam hikmah yang dipegangi sebagai prinsip adalah “ngalap berkah Mbah Yai Romli”. Ada satu niat khusus yang masih penulis ingat setiap akan ro’an di area pondok Njoso, yakni “niat ingsun nyaponi latare Mbah Yai Romli, tabarukan Lillaahi Ta’aalaa”. Lain amal , lain juga ceritanya. Para santri Pondok Njoso setiap akan melakukan perbuatan ma’shiyat mungkin akan teringat lagi sebuah wanti-wanti dari Mbah Yai Romli, “sopo santri sing nyolong dom neng pondok, iso2 nyolong jaran lek wes muleh”. Begitulah kami, mencintai beliau sebagai seorang ‘Aarif Billaah yang sangat melekat di hati. Bukan fanatik buta istilahnya, namun mencintai ulama’ dan ngalap berkahnya sebagai warotsatul Anbiya’, yang itu juga merupakan bagian dari ajaran Rasulullah SAW.

Jariyah beliau bagi ummat Islam sangatlah besar. Selain Pondok Pesantren Darul Ulum yang makin eksis dan maju hingga kini, beliau juga Guru Besar Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Indonesia. Seperti kita ketahui, Thoriqoh beliau hingga kini makin hari makin berkembang, selain berada di Pondok Njoso, yang kini disepuhi oleh putera beliau, KH.Dimyathi Romli, juga di Surabaya di bawah bimbingan Al-Maghfurlah KH. Asrori bin KH.Utsman Al-Ishaqi (Al Khidmah), dan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Karangkates Kediri di bawah bimbingan Al-Maghfurlah KH.Makki, juga di Cukir Jombang oleh Al-Maghfurlah KH. Adlan ‘Aly.

Karomah Mbah Yai Romli

Bukan beliau jika tidak akrab dengan karomah. Salah satu karomah beliau yang banyak diriwayatkan oleh para Kyai diantaranya adalah saat berkecamuknya perang melawan sekutu yang diboncengi NICA pada bulan November 1945. Alkisah, di zaman pertempuran melawan sekutu berkecamuk kembali di Tanah Air, tepatnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, beliau menggerakkan santri-santri untuk maju perang di barisan komando Hadratusy Syaikh KH.Hasyim Asy’ari, yang juga guru sekaligus mertua beliau. Beliau sendiri turut terjun ke medan tempur saat itu. Sebelumnya para santri diberi minuman dan dibekali kepalan-kepalan tanah liat yang telah diasma’i. Konon, setiap kepalan tanah liat itu dilemparkan, akan bereaksi seperti bom yang meluluh lantakkan musuh. Dan seperti kita ketahui bersama, kemenangan berhasil diraih para pejuang Hizbullah saat itu. Di lain kesempatan, konon Mbah Yai Romli pernah di tahan oleh penjajah, namun anehnya setiap sholat jama’ah di Pondok Njoso akan dimulai, beliau selalu hadir dan mengimami sholat, namun kemudian kembali lagi. Hal inilah yang pada akhirnya menggemparkan para penjajah saat itu. Karena keanehan Mbah Yai Romli saat itu mengundang simpati besar masyarkat yang ingin setiap hari berdatangan mengunjungi beliau di penjara. Beliaupun dibebaskan oleh penjajah. Lain lagi tentang bioskop yang konon pernah ada di sekitar pasar Peterongan. Karena keberadaan bioskop itu menjadi ajang ma’shiyat dan sangat meresahkan masyarakat, hingga banyak yang mengadukan hal itu kepada beliau. Beliau hanya berpesan untuk melemparkan beberapa butir batu ke halaman bioskop tersebut. Konon beberapa waktu kemudian bioskop tersebut bangkrut dan tutup dengan sendirinya.
Mbah Yai Romli wafat sekitar tahun 1958 pada umur 70 tahun, dan dimakamkan di Makam Keluarga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang. 


DAFTAR PUSTAKA


M. ARIS ARDIANTO. (2011, Desember). Kyai Romli; Kiai Keramat Pencetus Istighotsah NU. Retrieved December 10, 2016, from Ardianto Zone: http://ardiantozone.blogspot.co.id/2015/09/kyai-romli-kyai-keramat-pencetus.html
 iklil syaifullah. (2016, Juni 19). Biografi KH. Romly Tamim, Perumus naskah Istighosah. Retrieved December 10, 2016, from Santri Njoso: http://ngalahngalehngamuk.blogspot.co.id/2016/06/biografi-kh-romly-tamim-perumus-naskah.html

Biografi KH Muhammad Ustman Al Ishaqi RA

Tidak ada komentar:

KH. Muhammad Utsman Al Ishaqi ra

Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16 bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an.

Nasab beliau

Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kiyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kiyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang tuanya, Kiyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kiyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kiyai Romly At Tamimi.
Mengenal thariqah


Perjalanan Kiyai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Sebab jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti selama mondok dianggap aktifitasnya hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.


Hadrotus-Syaikh pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau mengadu ayam, Kyai Romli menjawab : Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah meniru mengadu ayam. Kawan dekat Hadrotus-Syaikh bernama Kyai Haji Hasyim Bawean menceritakan kepada kami bahwa Hadrotus-Syaikh dibai'at oleh Kyai Romli pada hari Rabu 16 Sya’ban tahun 1361 H atau 1941 M. Setelah beliau dibai'at selama satu minggu beliau menyusun silsilah Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsyabandiyyah atas perintah Kyai Romli di namakan "TSAMROTUL FIKRIYYAH" .
Hadrotus-Syaikh mengatakan : saya dibai'at oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan kekamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan dipinjami Tasbih. padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan, karena sudah menjadi Tradisi, setiap kali saya masuk kerumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demkian, sebelum saya jadi murid saya adalah Murod dan sebelum saya menjadi tholib saya adalah Mathlub.

Dalam kesempatan lain Hadrotus-Syaikh mengatakan untuk menghadiri Majlis Khusus atau wirid Khataman selama 4 tahun saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya. ke Paterongan, barulah kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy'ari di Mojoagung dan beliau mengatakan : jangan jalan kaki terus-menerus Utsman. Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan pada adik waktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M Hadrotus-Syaikh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan, kalau siang hari berada di dalam pondok.

Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai Romly sebagai murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat tugas dari kiyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Kiai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kiai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada saat itu berjumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kiai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al Mujaadalah {58] : 11


Babak kehidupan baru pun dimulai, setelah dirasa cukup dalam menimba ilmu dan telah menjadi salah satu murid thariqah, Kiyai Utsman pulang kampung untuk mengamalkan berbagai disiplin ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi meski telah berada di lingkungan keluarga, Kiyai Utsman masih secara rutin hadir ke Kiyai Romly untuk mengikuti majelis khususi dengan cara berjalan kaki, kadang juga naik kendaraan dan itu dilakukan selama empat tahun. Selanjutnya atas saran KH. Hasyim Asy’ari, Kiyai Utsman beserta keluarga pindah sementara ke Peterongan agar lebih dekat dengan gurunya.

Diba’iat menjadi mursyid
Dalam pandangan Kiyai Romly, Kiyai Utsman selama mondok dan sebagai murid Thariqah, memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh santri lainnya. Seperti ketika Kiai Utsman berusia 13 tahun memiliki kemampuan melihat Ka’bah di Makkah tanpa harus datang ke Masjidil Haram. Juga kemampuannya melihat kepribadian seseorang menyerupai serigala, dan hewan sejenis tergantung nafsunya masing-masing. Termasuk selama mondok di Rejoso ini Kiyai Utsman sering dijumpai oleh Nabi Khidir as.

Kiyai Romly berpendapat bahwa untuk untuk meneruskan ajaran thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, diperlukan estafet kepemimpinan thariqah dalam hal ini diperlukan seorang mursyid (guru) baru. Ini dimaksudkan agar ajaran thariqah tetap langgeng sampai kiamat nanti. Diantara sekian murid (santri) yang menurut pandangan Kiyai Romly memiliki kemampuan sebagai mursyid thariqah ialah Kiyai Utsman.

Maka pada suatu hari tepatnya jam 2 dini hari Kiyai Utsman diminta menghadap Kiyai Romly untuk diangkat menjadi Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Ketika Kiyai Romly melaksanakan perintah Allah dengan cara mengusapkan tangannya di atas kepala Kiyai Utsman, maka seketika itu pula Kiyai Utsman pingsan tidak sadarkan diri selama satu minggu, selama itu pula beliau tidak makan tidak minum tidak tidur tidak mandi tidak buang air besar maupun kecil juga tidak solat.

Setelah resmi menjadi mursyid, Kiyai Utsman atas saran Kiyai Romly diminta tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian Kiyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kiyai Utsman pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang keberatan, bahkan jika Kiyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kiyai Utsman tetap memilih kembali ke Surabaya.

Istiqomah dalam perilaku

Kiyai Utsman sejak kecil hingga akan pulang ke rahmatullah selalu istiqomah dalam perilaku. Perbuatan serta ucapan-ucapannya selalu meniru Rasulullah. Semua menyaksikan bahwa seluruh waktunya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Maka pantaslah jika kemudian Kiyai Romly memilih Kiyai Utsman sebagai kholifahnya. Dalam hal ini Kiyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Kiyai Utsman, itulah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabadiyah yang beliau asuh.

Karena saking cintanya kepada Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. Kiyai Utsman kemudian merintis penyelenggaraan manaqiban dengan cara membaca sejarah singkat Syech Abdul Qadir Al Jailani ra seorang ulama besar asal Timur Tengah. Kegiatan yang merupakan rintisan ini ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari Kiyai Romly Rejoso dan akhirnya Kiyai Romly menyetujui dan meminta untuk diteruskan (dilanggengkan).

Salah satu kegemaran Kiyai Utsman ialah melakukan ziarah ke wali wali Allah baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan karena dekatnya hubungan beliau dengan para wali Allah, Kiyai Utsman menyemarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. sehingga tiada terlewatkan setiap harinya di kota maupun di desa di Jawa Timur untuk senantiasa menggelar manaqib.
Setelah Kiyai Utsman mendapat kepercayaan dari kiyai Romly sebagai kholifah (mursyid thariqah), beliau di rumah Jatipurwo menggelar acara manaqiban selama 4 tahun yang hanya diikuti oleh 7 orang. Di tengah tengah memimpin istighotsah, Kiyai Utsman .didatangi oleh seseorang yang tidak dikenal, kemudian menelentangkan Kiyai Utsman dengan sebilah pedang di leher kiyai. Peristiwa tragis ini kemudian disampaikan ke Kiyai Romly, dan beliau hanya menjawab “teruskan apa yang telah kamu amalkan, pasti orang itu tidak berani lagi mengulangi perbuatan yang sama”. Apa yang yang disampaikan oleh Kiyai Romly benar benar terjadi, bukannya orang tersebut mengulangi lagi perbuatan yang sama, akan tetapi malah menjadi pengikut Kiyai Utsman yang setia.

Beberapa karomah yang dimiliki Kiyai Utsman
KH. Ahmad Asrori Al ishaqi (salah satu putra Kiyai Utsman) menceritakan, ketika ayahnda berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat ka’bah secara nyata dari rumahnya Jatipurwo Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan sekedar mimpi, akan tetapi benar benar terjadi dan yang tampak hanyalah ka’bah di Makkah. Kemudian Kiyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja. Menurut Kiyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahndanya dan sejak saat itu Kiyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kiyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pada saat bermukim di lereng gunung dekat Ngawi, Kiyai Utsman pernah bermimpi ketemu Kiyai Hasyim Asy’ari Tebuireng dan berpamitan dengan Kiyai Utsman dengan mengatakan “saya duluan Utsman !” ternyata pada esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kiyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia (pulang kerahmatullah).
Kyai Abdullah Faqih Langitan Tuban pernah mengatakan bahwa Kiyai Zubeir Sarang Rembang bermimpi ketemu Rasulullah SAW sedang menemui 2 orang laki laki dan Rasulullah menyatakan kepada Kiyai Zubeir “keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa diantaranya ialah Romly dan Utsman”.
Salah seorang sopir Kiyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kiyai Utsman bensinnya habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kiyai memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kiyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin ?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya dengan bahan bakar teh.



DAFTAR PUSTAKA
Tok Pake. (2013, Juli 3). Syeikh Usman al-Ishaqi Sawahpulo dan Syeikh Ahmad Asrori al-Ishaqi Surabaya
 10, 2016, from http://tuhfatulmurid.blogspot.co.id/2011/07/syeikh-usman-al-ishaqi-sawahpulo-dan.html
PONPES AL-ITQON. (2012, December 14). Biografi Hadrotus-Syaikh Muhammad Ustman Al Ishaqi Radliyallahu 'anhu From http://www.al-itqon.id/2012/12/biografi-hadrotus-syaikh-muhammad.html

7 Pesan Mulia KH Ahmad Asrori Bin Muhammad Ustman Al Ishaqi RA

Tidak ada komentar:

Inilah 7 Pesan mulia  KH Ahmad Asrori Bin Muhammad Ustman Al Ishaqi RA
(1). Dalam setiap amal ibadah apapun yang kita lakukan..
marilah didasari dengan selalu MERASA HINA (“APES”) di Hadapan Allah SWT.
(2). Dalam pergaulan dengan sesama..
marilah kita gunakan “Akhlaqul-Karimah”
yang didasari dengan selalu merasa :
“ORANG LAIN LEBIH MULIA KETIMBANG DIRI KITA, DAN DIRI KITA LEBIH HINA KETIMBANG ORANG LAIN”.
(3). Jadikanlah diri kita sebagai orang yang pandai “BERSYUKUR”
(4). Jadikanlah diri kita sebagai orang yang memiliki sifat “WELAS-ASIH”.
Artinya, “mudah tersentuh hatinya”
terhadap kesulitan atau derita sesama, serta cepat-tanggap dalam membantu atau menolong, meskipun hanya mampu mendoakan.
(5). Jadikanlah diri kita sebagai orang yang “MUDAH MENGALAH”
(6). Jadikanlah umur kita ini..
“SELALU BERISI HAL-HAL YANG BERMANFAAT”
(7). “JANGAN PERNAH BERBUAT DHOLIM” terhadap sesama.
Semoga kita semua selalu tetap dalam lindungan Allah SWT Amin.....amin.....amin Yaa Robbal 'Alamin

DAFTAR PUSTAKA
Santri Admin. (2015, Agustus 11). 7 Pesan Kyai Asrori Al Ishaqi 10, 2016, from Retrieved http://santri.net/manajemen-qalbu/ilmu-hikmah/7-pesan-kyai-asrori-al-ishaqi/

Rabu, 07 Desember 2016

Biografi KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi RA.

Tidak ada komentar:
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

DAFTAR PUSTAKA

Admin (2013, October,01). Biografi KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi Kedinding Lor Surabaya Retrieved Oktober 3, 2016, from kumpulanbiografiulama: https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/01/10/biografi-kh-ahmad-asrori-al-ishaqi-kedinding-lor-surabaya/.html

Awal Mula Al Khidmah

Tidak ada komentar:

Sejarah Al Khidmah
Pada tahun 1999, Hadratussyaikh Romo KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy RA kali pertama rawuh ke Pondok Pesantren Hidayatul Falaah Bejen Bantul. Pondok itu diasuh oleh Romo KH. Achmad Burhani Asyahidi. Sejak saat itulah bibit Al Khidmah muda tersemai di Jogjakarta. Kemudian pada tahun 2004, terselenggara Haul Akbar pertama di Masjid Agung Kabupaten Bantul, yang dihadiri pula oleh Hadratusyaikh RA.[5]
Empat tahun kemudian, tepatnya tanggal 18 Maret 2008 M/10 Maulud 1429 H, Romo KH. Najib Zamzami bersama rombongan santri PP Al Ishlahiyyah Kemayan Kediri rawuh di Maguwoharjo, Sleman, dalam rangkaian acara Haul Sayyidina Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jilany RA. Sepengetuhan penulis, itu adalah acara manaqib pertama Al Khidmah di daerah Sleman. Romo KH. Najib berkenan rawuh ke Maguwo atas permintaan KH. Roikhan Zainal ‘Arifin dan santri-santrinya, antara lain, H. Saring Artanto, Agus Setiawan, dan Suwardiyo.
Pada tanggal 4-5 Juli 2008, sekumpulan perantau dan pengusaha di Kota Jogjakarta yang berasal dari Gunung Kidul, disepuhi oleh H. Saring Artanto dan Agus Setiyawan, sowan ke dalem Romo KH. Najib Zamzami Kediri.[6] Pisowanan itu dalam rangka memperteguh komitmen untuk “nderek” kepada Hadratussyaikh RA. Maka, atas nasihat dari Romo KH. Najib, mereka diarahkan untuk “merapat” ke Romo KH. Achmad Burhani, imam khususi daerah Jogjakarta yang ditunjuk langsung oleh Hadratussyaikh RA[7]. Kemudian pada tanggal 13 Juli 2008, Romo KH. Achmad Burhani mengajak mereka sowan ke dalem Hadrotussyaikh RA di Pondok Pesantren Kedinding, yang kala itu bertepatan dengan Pengajian Minggu Kedua. Namun, sayangnya, karena kondisi kesehatan Hadrotussyaikh RA yang saat itu sudah tidak memungkinkan, Beliau RA tidak mengisi pengajian, dan sowan dilakukan pada saat majlis-majlis berikutnya.
Hingga Mei 2009, di daerah Kota Jogjakarta terdapat kurang lebih 30 Jama’ah. Tetapi belum terbentuk kepengurusan secara resmi. Kemudian atas inisiatif dari Ketua Al Khidmah Wilayah Jateng-DIY, H. Joko Suyono, meminta agar segera dibentuk kepengurusan terutama di daerah Kota Jogjakarta. Saat itu H. Saring Artanto dan Agus Setiawan intensif bermusyawarah dengan Muhsin Kalida, MA., dosen UIN Sunan Kalijaga, soal proses pendirian kepengurusan di Kota Jogjakarta. Akhirnya pada tanggal 18 April 2009, diselenggarakan Majlis Rutin Sabtu Malam Ahad Pahing perdana di Padepokan Cakruk Pintar, Nologaten, Depok, Sleman. Saat itu dihadiri oleh Romo KH. Achmad Burhani, Romo KH. Sirojan Muniro (PP Nurul Haromain Sentolo Kulonprogo), H. Joko Suyono, KH. Muhyi Darmaji, Jama’ah Al Khidmah Bantul, Jama’ah Al Khidmah Kota, warga dan tokoh masyarakat sekitar Nologaten, santri PP. Wahid Hasyim Gaten, dan santri PP Universitas Islam Indonesia.
Majlis Nologaten yang pertama itu boleh dikatakan sebagai launching Pengurus Al Khidmah Daerah Kota Jogjakarta dan Sleman.[8] Saat itu menjabat sebagai Ketua pertama adalah Agus Setiawan, lalu pada tahun 2010, diganti oleh Suwardiyo. Selain Majlis di Nologaten, atas inisiatif dari Ustadz Fathurrozi[9], di Kota sebelumnya sudah dirintis pula Majlis Rutin Malam Jumat. Sementara di Bantul sendiri, jauh sebelumnya, sudah rutin Majlis Manaqib setiap Ahad Pon dan Majlis Iklil setiap Sabtu Legi. Begitu kemudian menyusul, atas kerja keras Romo KH. Sirojan, terbentuklah pula kepengurusan dan majlis Al Khidmah di Kulonprogo dan Gunungkidul yang diketuai oleh Slamet Gento.
Kemudian pada tanggal 8 Mei 2010, Ketua Umum Pimpinan Pusat Al Khidmah, H. Hasanuddin, S.H., rawuh ke Majlis Rutin Sabtu Malam Ahad Pahing. Kehadiran beliau tentu dalam rangka memperkuat komitmen kepengurusan yang sudah terbentuk di seluruh wilayah DIY, betapapun masih sangat muda. Hal itu ditunjukkan dengan, salah satunya, diselenggarakan Musyawarah Nasional PP Al Khidmah di UIN Sunan Kalijaga, 2-4 April 2010, kemudian ditutup dengan Majlis Dzikir dan Maulidurrasul SAW di Masjid Gede Kauman, Jogjakarta, yang dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Al Khidmah Kampus
Sejak Al Khidmah Kampus Semarang dilaunching pada 3 November 2010[10], lahirlah semacam kesadaran kolektif dari kalangan muda Al Khidmah di daerah-daerah dan kota-kota besar untuk mendirikan Al Khidmah Kampus di universitas masing-masing. Sebagai perintis awal, di Semarang adalah Deeda Anwar, di Surabaya ada Robith Al Hamdany dan Fitrah Fotografi, di Jakarta ada Aris Adi Leksono, di Jogjakarta ada Andi Asmara dan Hilal Ahmed, serta beberapa mahasiswa di Malang, Ponorogo, Lamongan, Gresik, dan kota-kota lain.
Pada 20 November 2010, Andi mengundang mahasiswa dari berbagai kampus untuk mengadakan Majlis Iklil di Monjali. Selepas majlisan diadakan rapat konsolidasi dan pembentukan “embrio” pengurus Al Khidmah Kampus Jogjakarta. Rapat itu dalam rangka menyambut dibentuknya Al Khidmah Kampus Semarang. Selain penulis, hadir saat itu Yusuf (UIN Sunan Kalijaga), Hilal Ahmad (UGM), Mulyadi (UNY), beberapa mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang nyantri di PP Wahid Hasyim[11], beberapa mahasiswa UGM yang tinggal di rumah kontrakan Andi[12], dan Larit Satriyani S. Putri (putri H. Joko Suyono, mahasiswa UGM).
Rapat itu berhasil membentuk kepengurusan sementara. Penulis kebetulan diberi amanat untuk menjadi Ketua Al Khidmah Kampus Jogjakarta dan Hilal Ahmed sebagai Sekretaris. Tetapi setelah kepengurusan terbentuk tidak lantas kemudian proses konsolidasi mahasiswa di kampus-kampus berjalan dengan lancar. Betapapun banyak mahasiswa yang kenal dan paham tentang Al Khidmah (bahkan aktif di daerahnya masing-masing), perlu diketahui bahwa butuh proses yang cukup panjang untuk mencari kader unggul, baru, dan segar di kampus-kampus. Saat itu harus disadari bahwa Al Khidmah Kampus sedang mencari bentuk serta pendekatan yang pas dan tepat terutama dalam konteks keberlangsungannya di Jogjakarta, yang kondisi sosio-kulturalnya jauh berbeda dengan Semarang, Surabaya, Malang, dan daerah-daerah lain.
Akhir Mei 2011, penulis bermusyawarah kecil-kecilan dengan Alfian Haris dan Abdul Basith di rumah H. Saring. Kita sepakat untuk membuka majlis perdana Al Khidmah Kampus di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Dengan tetap berkoordinasi dengan Andi, Hilal, dan Yusuf (PP Wahid Hasyim), maka tanggal 31 Mei 2011, Alfian Haris dan Basith melayangkan surat permohonan untuk menyelenggarakan Majlis Iklil ke Takmir Masjid UIN Sunan Kalijaga. Selain Muhsin Kalida, MA, adalah Baihaqi Latif dan Rosyid, dua pemuda yang berjasa memperlancar ijin kami di ketakmiran. Rosyid yang kebetulan adalah kawan Baihaqi dan anggota pengurus Takmir Masjid UIN Sunan Kalijaga memberi pemahaman kepada Ketua Takmir, Dr. Waryono Abdul Ghofur, tentang apa dan bagaimana Jama’ah Al Khidmah. Begitu pula dengan Muhsin Kalida yang bukan lain adalah kolega dari Dr. Waryono.
Semata-mata atas ijin Allah SWT, Takmir Masjid UIN Sunan Kalijaga tertanggal 01 Juni 2011 mengeluarkan surat bernomor 48/B/Lab Agama SK/VI/2011, berisi pemberian ijin penyelenggaran Majlis di Masjid UIN dan, yang membuat kami saat itu sangat bersyukur, memberi penekanan: “bahwa kegiatan yang dimaksud dalam surat tersebut agar dijadikan bagian dari kegiatan Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga”.[13]
Surat balasan itu sekali lagi sungguh membuat kami saat itu sangat bersyukur karena asumsi bahwa Al Khidmah Kampus tidak akan diterima oleh warga kampus di Jogjakarta menjadi terbantahkan. Dengan semangat juang yang tinggi, akhirnya pada tanggal 7 Juni 2011, tergelarlah Majlis Rutin Selasa Sore[14] perdana Al Khidmah Kampus di UIN Sunan Kalijaga yang diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa. Bermula dari Majlis ini, salah satu mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia, Misbakhul Huda, berinisiatif menggelar Majlis serupa setiap hari Senin di kampusnya yang dimulai pada tanggal 20 Juni 2011. Kemudian agak belakangan, atas kerja keras Hamid dan Diyah Kholil dan Hilal Ahmed dan Larit, pada tanggal 19 November 2011, terselanggaralah Majlis Rutin Sabtu Sore (dwimungguan) di Mushola Ibnu Sina Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Bermula dari pelbagai majlis itu pulalah kemudian muncul kader-kader baru dari berbagai universitas di Jogjakarta. Misalnya, di UIN Sunan Kalijaga—selain Alfian Haris dan Abdul Basith—ada Amir Yusuf dan Abdullah Wasik; di UNY ada Taufiq dan Farida; di UII ada Nur Haris ‘Ali, Denes, Alfi Rahmawati, Wisnu, Rijal Bahtiar; di UGM—selain tentu saja Hilal Ahmed dan Larit Satriyani S. Putri—ada Diyah Kholil dan Hamid.[15]
Tentu tak hanya mereka (dan teman-teman mereka yang tak bisa saya sebut semua di sini) yang berperan penting dalam masa perintisan awal Al Khidmah Kampus di Jogjakarta. Mereka yang menjadi staf di kampus-kampus tersebut dengan kelegaan hati dan kesabaran perjuangan juga membantu mengembangkan Al Khidmah Kampus. Sebut saja misalnya Ali Ubaidillah (UII), Bunda Umi (UGM), Muhammad Zakiy Muntazhar (UGM), dan teman-teman Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) UGM. Sementara di luar kampus, nama yang paling patut disebut di sini adalah Romo KH. Achmad Burhani, Deeda Anwar, H. Saring, dan seluruh elemen yang berada di bawah tenda besar Al Khidmah baik di Jogjakarta dan Jawa Tengah, baik dari daerah maupun pusat.
Untuk mewadahi agar semangat yang tangguh itu terus berkibar dan tak lekas pudar, maka pada tanggal 22 Agustus 2011 H/22 Ramadlan 1423 H, dibentuklah kepengurusan Al Khidmah Kampus Wilayah D.I. Yogyakarta yang baru dan reshuffle kepengurusan tingkat universitas se-DIY di Universitas Islam Indonesia. Misbakhul Huda mendapat amanat sebagai Ketua Al Khidmah Kampus Wilayah DI Yogyakarta. Nur Haris ‘Ali, menggantikan Huda, mendapat amanat sebagai Ketua Al Khidmah Kampus UII. Amir Yusuf mendapat amanat sebagai Ketua Al Khidmah Kampus UIN Sunan Kalijaga, menggantikan Alfian Haris yang mendapat amanat sebagai Sekretaris Al Khidmah Kampus DIY. Taufiq mendapat amanat sebagai Ketua Al Khidmah Kampus UNY. Sementara di UGM, masih dipegang secara kolektif oleh Hilal Ahmed, Hamid, Diyah Kholil, dan Larit.
Seolah seperti menyambut semangat kolektif tersebut, para kader-kader baru dengan kesungguhan—yang tak bisa saya bayangkan: sangat tangguh dan luar biasa—bekerja keras untuk kemajuan Al Khidmah Kampus di Jogjakarta. Dan Malam Keakraban pada dua hari ini adalah salah satu dari jerih payah mereka.
Latar Belakang
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah adalah lembaga pendidikan Islam yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, yang salah satu tujuannya adalah melestarikan dan mengembangkan akhlaqul karimah dan nilai-nilai amaliah salafushsholeh.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi dan informasi, serta guna memberikan landasan yang kuat dengan didikan yang akhlaqul karimah, maka dalam hidup dan kehidupan ini, pendidikan -khususnya agama Islam- dan tatanan hidup yang akhlaqul karimah sangat diperlukan untuk membentengi dan melindungi diri, keluarga khususnya anak – anak.
Anak sebagai generasi penerus, dalam perkembangannya sangat membutuhkan pendidikan agama dan akhlaqul karimah sejak dini, guna melindungi diri dan kehidupannya, agar tidak terseret dalam arus globalisasi dan informasi yang menyesatkan.
Dalam rangka melindungi, membentengi dan memberikan tuntunan dan didikan agama Islam dan tata laku akhlaqul karimah, maka pada tahun 1985, Romo KH.Achmad Asrori El Ishaqy ra. merintis berdirinya Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, yang berlokasi di jalan Kedinding Lor 99 Surabaya.
2. Proses Berdirinya Dan Perkembangannya
Bangunan pondok bermula dari kediaman Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori El Ishaqy ra. dan mushola pada tahun 1985, dan diikuti dengan 3 santri senior Pondok Pesantren Darul ‘Ubudiyah Jati Purwo Surabaya ( Ust. Zainal Arif, Ust. Wahdi Alawy dan Ust. Khoiruddin ).
Pada tahun 1990 datanglah beberapa santri sekitar 3 – 4 santri (Abdul Manan, Ramli, Utsman dan Zulfikar ), dengan kegiatan ‘ubudiyah dan mengaji secara bandungan di mushola.
Dalam perkembangannya jumlah anak yang ingin mengaji dan mondok semakin banyak ( 25 orang ), sehingga pada tahun 1994 Hadhrotusy Syaikh memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantern dan mengatur pendidikan agama dan umum secara klasikal.
Pondok Pesantren Asalafi Al Fithrah semakin berkembang dan dikenal di masyarakat secara luas, sehingga banyak masyarakat yang memohon Hadhrotusy Syaikh untuk menerima santri putri. Dengan dorongan dan desakan itulah akhirnya pada tahun 2003 beliau membuka pendaftaran santri putri dan terdaftarlah 77 santri putri. Sampai pada tahun 2007 tercatat jumlah santri 1999, menetap 999 santri dan tidak menetap 1000 santri.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Bintang P (2015, March 30).Sejarah Alkhidmah (Majelis Dzikir). Retrieved Desember 7, 2016, from adebp45: http://http://adebp45.blogspot.co.id/2014/04/sejarah-alkhidmah-majelis-dzikir.html/2014/04/Bumi Pertiwi (Indonesia).html
Asep, B. (2014).tentang alkhidmah Retrieved 10 3, 2016,from alkhidmahsmg: http://https://alkhidmahsmg.wordpress.com/tentang-alkhidmah/2016/03/al khidmag semarang.html
 
back to top